Selamat Datang di Ponpes Al Falah Kebonkalapa Online...

Keluarga Besar Ponpes Al Falah Kebonkalapa Mengucapkan

Keluarga Besar  Ponpes Al Falah Kebonkalapa  Mengucapkan

Sabtu, 05 Maret 2011

Gebyar sholawat dan malam tafaruqan

Sudah menjadi kegiatan rutin setiap menjelang Bulan Rabiul Ula, Dewan Santri Ponpes Al Falah Kebonkalapa selalu mengadakan kegiatan UAS Semester Genap dengan diakhiri dengan Kegiatan Tafaruqan (Perpisahan).
Khusus pada Kegiatan Tafaruqan kali ini diadakan juga kegiatan gebyar sholawat yang diikuti oleh perwakilan tiap-tiap asrama. berikut adalah sebagian foto-fotonya:

Sambutan Ketua Yayasan Al Falah
(KH. Engkon Furqon)

Sambutan Sesepuh Pesantren Al Falah
(Aj. Iyon Sufyan)

Parade Sholawat Asrama Putri II (Falahul Mubtadiin)

Parade Sholawat Asrama Putra Pusaka

Parade Sholawat Asrama Putri I (Miftahul Falah)

Sekian dulu akang2 & teteh2.......
tunggu kegiatan2 lainnya yang lebih inovatif.....
wassalaam...


ttd


Ponpes Al Falah Kebonkalapa
(Lembaga Pendidikan dengan Konsep Pendidikan yang Sesungguhnya)

Selasa, 01 Maret 2011

Ruang Lingkup Aswaja

Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup
Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari. Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat akidah keimanan,karena karya pemikiran dua imam ini tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H – 321 H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-’Aql ‘ala al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini.
Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib KW tetapi dari segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awza’i, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimu al-Nash ‘ala al-’Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok dan madzhab dalam Islam.
Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda dalam beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah.
Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri. Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal sebagai anugerah Allah SWT, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok
Maturidiyah sedikit lebih “menengah” dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ‘ala al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal.
Berbeda dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya